Selasa, 24 Jun 2025

Gubernur Sulteng : Dana Bagi Hasil Hancur Akibat Pertambangan Tak Memberi Dampak Pendapatan Daerah

waktu baca 4 menit
Selasa, 29 Apr 2025 13:46 0 91 Muhammad Nurnas Islam

Portalmetro.id,Jakarta — Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, secara blak-blakan mengungkap ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialami daerahnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI di Gedung Parlemen,pada Selasa 29 April 2025.

Dalam forum yang dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk dan dipimpin langsung Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda, Anwar menumpahkan kegelisahan yang selama ini dirasakan masyarakat Sulawesi Tengah terhadap ketidak adilan distribusi hasil kekayaan alam.

Dalam pernyataannya, Anwar Hafid menyampaikan fakta mencolok bahwa meskipun Sulawesi Tengah menjadi salah satu kontributor terbesar bagi penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk industri smelter yang disebut Presiden menyumbang hingga Rp570 triliun, provinsinya hanya menerima DBH sekitar Rp200 miliar per tahun.

Ia menggambarkan kondisi daerahnya sebagian “hancur-hancuran” akibat aktivitas pertambangan yang masif, namun tak memberi dampak signifikan bagi pendapatan daerah.

“Saya contohkan Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah itu adalah salah satu provinsi penyumbang pendapatan terbesar juga di Indonesia ini. Bapak Presiden bilang ada Rp570 triliun dari pajak yang bersumber dari industri smelter yang ada di Sulawesi Tengah. Tapi coba Bapak bayangkan setiap tahun DBH itu kami hanya mendapatkan Rp200 miliar. Negeri kami itu hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana, hancur-hancuran, Pak, negeri kami itu,” ungkap Anwar Hafid berapi-api di hadapan Komisi II.

Ia juga menyoroti kelemahan sistem perpajakan yang hanya mengenakan pajak di “mulut tambang”, bukan di “mulut industri” seperti halnya di wilayah-wilayah lain yang telah mengadopsi izin usaha pertambangan pemurnian.

Menurutnya, jika pajak dikenakan saat produk nikel telah menjadi stainless steel, maka nilai ekonomis dan PAD Sulawesi Tengah bisa bersaing dengan provinsi-provinsi kaya seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Tak hanya itu, Anwar menyoroti kebijakan tax holiday dan tax allowance yang diberikan kepada perusahaan industri smelter hingga 25 tahun.

Sementara cadangan nikel di Morowali, katanya, hanya tinggal 10 tahun. Ia mengkhawatirkan kondisi pasca-ekspolitasi nikel, ketika semua keuntungan telah diraup dan wilayahnya ditinggalkan tanpa hasil berarti.

“Kemarin saya paksa, Pak. Tapi takutnya nanti dilaporin lagi saya ke pusat. Saya bilang kalau kalian tidak mau membuka perwakilan di Sulawesi Tengah, silakan angkat kaki. Tapi mereka semua sekarang bilang, Gubernur apa-apa sih, biar marah juga nggak ada masalah. Kita nggak ketemu juga, nggak ada juga keperluan kita sama Gubernur,” tambah Anwar dengan nada kecewa.

Ia juga menyinggung keberadaan NPWP para pengusaha yang mayoritas terdaftar di Jakarta.

“Jadi mereka benar-benar mengambil keuntungan di sana. Kita yang merasakan dampaknya, kita tidak punya apa-apa,” ujarnya seraya meminta Komisi II untuk memperjuangkan hak daerah secara lebih serius.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menjelaskan bahwa rapat ini merupakan bagian dari pengawasan dana transfer pusat ke daerah.

Ia menyebut selama ini DPR RI belum maksimal mengawasi setelah dana ditransfer ke APBD.

Komisi II, katanya, ingin mendalami penggunaan berbagai jenis dana, termasuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Dana Insentif Daerah.

“Kita tahu hakikat dana transfer pusat ke daerah ini adalah dana APBN yang ditransfer ke provinsi dan kabupaten/kota masing-masing. Tapi selama ini DPR RI belum melakukan pengawasan setelah dana itu masuk ke APBD,” kata Rifqi.

Ia juga menyoroti kinerja BUMD yang di banyak daerah justru menjadi beban, bukan aset.

Komisi II kini mendorong hadirnya regulasi pembinaan dan pengawasan BUMD, termasuk kemungkinan pembubaran BUMD yang tidak sehat.

Rapat ini juga membahas reformasi birokrasi dan penyelesaian masalah honorer, yang disebut Rifqi masih menjadi pekerjaan rumah besar di berbagai daerah.

Ia memastikan bahwa forum seperti ini akan terus dilanjutkan secara berkala agar kebijakan pusat benar-benar berpijak dari kebutuhan nyata di daerah.

Bagi Anwar Hafid, forum ini menjadi ruang penting untuk menyampaikan kegelisahan yang selama ini tak terdengar.

Ia menegaskan bahwa para kepala daerah, meski dipilih langsung oleh rakyat, masih terkekang oleh wewenang pusat dan sistem regulasi yang kerap tak berpihak pada kepentingan daerah.

“Komisi II ini adalah komisi yang sangat strategis. Dan pintu kami ada di situ, Pak. Di Undang-Undang Nomor 23 tentang Pemerintahan  itu. Mungkin sudah waktunya, Pak, dikorek-korek lagi,” pungkas Anwar dengan harapan besar.

UU pemerintahan daerah terbaru adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta [10]. UU ini mengatur status dan kewenangan khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Selain UU No. 2 Tahun 2024, UU pemerintahan daerah yang relevan meliputi:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: UU ini mengatur secara umum tentang sistem pemerintahan daerah, otonomi daerah, dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014: UU ini melakukan perubahan kedua terhadap UU No. 23 Tahun 2014.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah:

UU ini mengatur lebih lanjut mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah dan transfer ke daerah.

RDP ini menjadi momentum penting, menegaskan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia masih menyisakan ketimpangan yang dalam, dan suara dari daerah seperti Sulawesi Tengah harus menjadi prioritas dalam pembenahan kebijakan nasional.*****

Editor : Muhammad NurNas.

 

Muhammad Nurnas Islam

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA